Banyuwangi – Di tepian Dam Karangdoro, senin pagi yang cerah, ratusan petani dengan penuh semangat berkumpul dalam tradisi Bubak Bumi. Ritual tahunan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan petani di Banyuwangi, sebuah simbol permohonan kepada Sang Pencipta untuk keberkahan di musim tanam yang baru.
Pada tradisi Bubak Bumi kali ini, sebanyak 275 petani yang tergabung dalam Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) se-Banyuwangi, turut berpartisipasi. Mereka membawa tumpeng, makanan tradisional yang disusun rapi dan indah, sebagai bentuk rasa syukur. Setelah prosesi doa selesai, para petani bersama-sama menyantap hidangan tersebut, simbol kebersamaan dan rasa terima kasih atas anugerah alam.
Menurut Guntur Priambodo, Kepala Dinas PU Pengairan Banyuwangi, Dam Karangdoro dipilih sebagai lokasi utama pelaksanaan tradisi ini karena merupakan bendungan terbesar di wilayah tersebut. "Dam ini mengairi lebih dari 16.000 hektar sawah di sembilan kecamatan di Banyuwangi," ujar Guntur. Bendungan ini memiliki sejarah panjang sejak pembangunannya pada 1921, dan perannya tetap vital hingga kini.
Guntur juga mengenang sebuah bencana banjir yang melanda Dam Karangdoro pada tahun 1929, dikenal sebagai “Belabur Senin Legi”. Banjir ini menjadi latar belakang awal mula diadakannya ritual Bubak Bumi, sebuah upaya spiritual untuk memohon keselamatan dan kelancaran bagi lahan pertanian di Banyuwangi.
Tidak hanya berfungsi sebagai momen spiritual, Bubak Bumi juga menjadi ajang silaturahmi antar petani. Tradisi menuangkan dawet ke aliran sungai dalam prosesi ini menggambarkan harapan akan limpahan air yang mengairi lahan-lahan pertanian. Setelah itu, sekitar 100 tumpeng dinikmati bersama sebagai simbol syukur dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Tradisi ini tidak hanya menjaga kelestarian alam, tetapi juga menjadi sarana mempererat persaudaraan di antara para petani, membuktikan bahwa kebersamaan adalah kunci kesuksesan dalam mengelola alam dan sumber dayanya.